Jumat, 01 Januari 2016

BUDAYA ORGANISASI PERUSAHAAN DAN PENERAPAN BUDAYA“TIPCE” PADA PT.BANK MANDIRI,Tbk


BUDAYA ORGANISASI PERUSAHAAN DAN
PENERAPAN BUDAYA“TIPCE” PADA PT.BANK MANDIRI,Tbk

I. PENDAHULUAN
Setiap organisasi memiliki budaya yang tercermin dari nilai-nilai, norma, keyakinan, dan perilaku para anggotanya atau para pegawainya. Sejak berdirinya organisasi, pendiri meletakkan dasar budaya bagi organisasi yang didirikan. Dengan kata lain, peranan budaya organisasi merupakan proses dalam rangka pencapaian tujuan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, produktifitas dan etos kerja pegawai. Nilai-nilai budaya tidak tampak,  namun merupakan pendorong perilaku dan alat penggerak komitmen yang tinggi dari pegawai, melebihi kepentingan pribadi serta mampu menambah konsistensi perilaku pegawai. Budaya organisasi yang kuat mendukung pelaksanaan tujuan organisasi, sebaliknya budaya organisasi yang lemah akan  menghambat perkembangan organisasi.
Banyak organisasi yang kini menyadari bahwa unsur manusia dalam organisasi dapat memberikan keunggulan bersaing. Manusia sebagai unsur sumber daya manusia memberikan serta mempengaruhi kesuksesan persaingan organisasi. Dalam konteks pemberdayaan sumber daya manusia untuk menghasilkan karyawan profesional dengan integritas tinggi, diperlukan suatu acuan baku yang diterapkan oleh suatu perusahaan. Acuan baku tersebut adalah budaya korporat yang secara sistematis menuntun para karyawan untuk meningkatkan komitmen kerjanya bagi perusahaan, yang pada akhirnya mempengaruhi produktivitas kerja karyawan dalam perusahaan.
Sejalan dengan kemajuan bisnis, produktifitas usaha tidak selalu ditentukan oleh faktor-faktor yang terwujud dalam skala nominal angka saja, akan tetapi juga budaya organisasi. Dalam hal ini,  Bank Mandiri telah melakukan transformasi budaya dengan mengembangkan nilai-nilai dan budaya untuk menjadi pedoman pegawai dalam berperilaku. Bank Mandiri  menetapkan 5 (lima) nilai budaya perusahaan yang disebut "TIPCE" yaitu: Kepercayaan (Trust), Integritas (Integrity), Profesionalisme (Professionalism), Fokus pada pelanggan (Customer focus), dan Kesempurnaan (Excellence). Oleh karena itu, tulisan ini ingin mengetahui bagaimana ruang lingkup budaya organisasi dan penerapan TIPCE pada Bank Mandiri.












II. PEMBAHASAN
Ruang lingkup budaya organisasi sangatlah luas, terlebih jika dihadapkan dengan sebuah organisasi yang disebut perusahaan. Oleh karena itu, hal-hal dibawah ini adalah beberapa hal yang melingkupi budaya organisasi pada sebuah perusahaan:
A.    Budaya Organisasi.
Setiap organisasi sebenarnya memiliki budaya. Memang pada umumnya orang-orang dalam sebuah organisasi mudah menyetujui bahwa organisasi mereka memiliki budaya dan budaya itu sangat penting. Tetapi biasanya mereka akan menghadapi kesulitan kalau diminta untuk memberikan definisi budaya organisasi itu. Beberapa ahli mengatakan bahwa budaya sebenarnya merupakan konsep yang dipinjam oleh para pakar teori organisasi dari disiplin ilmu antropologi (Luthans, 1988; Gordon, 1991). Sebaliknya Schein (1985) mengajukan konsep budaya yang menurutnya lebih berakar pada teori dinamika kelompok dan pertumbuhan kelompok daripada sekedar pada teori antropologi.
Berdasarkan pengamatan orang lain dan pengamatannya sendiri, Schein (1985) mengemukakan bahwa ada beberapa pengertian yang sama yang berkaitan dengan budaya antara lain:
1.      Keteraturan perilaku yang diamati (observed behavioral regularities) ketika orang-orang berinteraksi, misalnya bahasa yang digunakan dan upacara yang dilakukan sehubungan dengan rasa hormat dan cara bertindak/bersikap.
2.      Norma yang berkembang dalam kelompok kerja.
3.      Nilai dominan yang didukung oleh sebuah organisasi, seperti mutu produk dan sebagainya.
4.      Falsafah yang menjadi landasan kebijaksanaan organisasi yang berkaitan dengan karyawan dan atau pelanggan.
5.      Peraturan pergaulan dalam organisasi, cara-cara/seluk-beluk untuk diterima sebagai warga organisasi.
6.       Rasa atau iklim yang disampaikan dalam sebuah organisasi oleh tata letak fisik dan cara  interaksi para warga organisasi dengan para pelanggan atau orang luar yang lain.
Secara umum, setiap individu dilatarbelakangi oleh budaya yang mempengaruhi perilaku mereka. Budaya menuntut individu untuk berperilaku dan memberi petunjuk mengenai apa saja yang harus diikuti dan dipelajari. Kondisi tersebut juga berlaku dalam organisasi tentang bagaimana pegawai berperilaku dan apa seharusnya yang harus dilakukan. Harvey (1996:333-334) mengemukakan, budaya organisasi mencakup: nilai-nilai, kepercayaan, bentuk perilaku dari anggotanya pada suatu organisasi tertentu. Budaya organisasi mengarah pada suatu sistem nilai bersama yang dipegang oleh anggotanya yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi yang lainnya.
Karakteristik yang menggambarkan suatu budaya organisasi adalah: - otonomi individu: persetujuan akan tanggung jawab, kebebasan, dan kesempatan untuk berinisiatif bagi anggota organisasi; - struktur: persetujuan akan aturan, perubahan peraturan, kuantitas penggunaan langsung suvervisi untuk mengontrol perilaku anggota; - pemberian insentif: persetujuan dalam pemberian insentif (misalnya kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas prestasi anggota; - perilaku yang merugikan: persetujuan untuk anggota didorong untuk agresif, inovatif dan pencarian yang penuh resiko. Kombinasi dari setiap karakteristik tersebut merupakan gambaran dari budaya organisasi yang dibentuk oleh organisasi tersebut.
Sedangkan Luthans (1989:50) mengutif definisi mengenai budaya organisasi yang dikemukakan oleh Schein, yaitu:
A pattern of basic assumptions – invented, discovered, or developed by a given group as it leams to cope with its problem of external adaption and internal integration – that has worked well enough to be considered valid and, therefore to be tought to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems”.
Definisi tersebut menggambarkan bahwa budaya organisasi sesungguhnya tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan oleh individu yang bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada dalam lingkungan organisasi tersebut, dan dapat dianggap sebagai ciri khas yang membedakan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya.
B.     Dimensi/Tingkatan Budaya Organisasi
Berbagai pola asumsi dasar yang telah dipelajari kelompok dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi (masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal) kepada anggota/generasi baru sebagai arah yang benar untuk menduga, berfikir dan merasa dalam menghadapi masalah itu. Hal ini penting dilakukan agar organisasi (perusahaan) dapat terus berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Untuk itu, perlu diketahui pengembangan tahap-tahap budaya, yang oleh Indrapradja (1992) disebut dimensi budaya dalam organisasi, yaitu:
No
Dimensi
Keterangan
1.
Artidak-artifak (Artifact)
Artifacts adalah “benda-benda” hasil buatan manusia. Kita dapat mengamati suatu budaya dalam artifak yang diciptakannya berupa kata-kata yang digunakan, tindakan para anggota organisasi dan objek yang ada dalam organisasi. Yang dimaksudkan dengan “kata-kata budaya” di sini termasuk bahasa khusus atau jargon yang digunakan oleh orang-orang dalam organisasi, kisah-kisah yang diceritakan oleh mereka dan mitos-mitos yang dilestarikan oleh mereka.
2.
Prespektif (Perspectives)
Yang termasuk ke dalam perspektif adalah berbagai norma sosial dan peraturan yang mengatur bagaimana para warga organisasi harus berperilaku dalam situasi khusus. Dengan adanya bergagai peraturan dan norma tersebut, para anggota organisasi tidak perlu memecahkan permasalahan sosial organisasi secara baru setiap timbul permasalahan.
3.
Nilai-nilai (Values)
Values mencerminkan falsafah dan misi organisasi, cita-cita organisasi, tujuan, dan standar organisasi. Para anggota organisasi menggunakan nilai-nilai ini untuk menilai (judging) orang-orang, tindakan, dan peluang serta mengambil keputusan atas nama organisasi.
4.
Asumsi-Asumsi (Assumptions)
Asumsi budaya bersifat take for granted, sehingga pada dasarnya kita harus menjadi bagian dari budaya itu kalau kita mau mengerti. Akan tetapi kesulitannya adalah, sekali kita menjadi bagian dari budaya itu, kita tidak mengenalinya lagi karena unsur budaya organisasi sudah menjadi bagian dari pandangan dunia kita secara otomatis.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan sesuatu yang sungguh kompleks. Akan tetapi, kita harus memiliki kemampuan mengalisis budaya organisasi secara akurat apabila kita sungguh-sungguh mau mengerti mengapa organisasi melakukan hal-hal tertentu dan mengapa para pemimpin organisasi itu dapat menghadapi kesulitan dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya.
C.    Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan mendapat perhatian dari berbagai ahli, karena gejala ini menunjukkan peranannya yang seringkali menentukan di dalam hidup bernegara dan bermasyarakat. Kepemimpinan tidak hanya berarti memimpin terhadap manusia, tetapi juga mempimpin terhadap perubahan. Seorang pemimpin tidak hanya mempengaruhi bawahan, tetapi juga sebagai sumber inspirasi dan motivasi bawahannya. Oleh karena itu, pandangan berbagai penapsiran kepemimpinan semakin beragam dalam perkembangannya.
Terry (dalam Kartono, 1994;49) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang lain agar mereka mau bekerjasama untuk mencapai tujuan kelompok. Sedangkan R. Tannenbaum (dalam Harsey dan Balnchard, 1984:9) mengemukakan bahwa kepemimpinan sebagai pengaruh antarpribadi yang dilakukan dalam suatu situasi dan diarahkan melalui proses komunikasi pada pencapaian tujuan tertentu.
Pandangan lain yang dikemukakan oleh Stonner (1989:459) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses mengarahkan dana mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok. Sedangkan Koontz at.al. (1984:506) memberikan pengertian kepemimpinan sebagai mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum. Definisi yang hampir sama dengan Koontz, dikemukakan oleh Hosmer (dalam Timpe, 1999:21), yang mengatakan bahwa pemimpin adalah individu dalam suatu organisasi yang mampu mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain dalam organisasi. Usaha mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain dalam organisasi bertujuan tercapai usaha kelompok yang terkoordinasi dan terpadu.
Dari berbagai pandangan mengenai kepemimpinan tersebut, maka pemimpin dalam kehidupan organisasi mempunyai kedudukan yang strategis dan merupakan gejala sosial yang selalu diperlukan dalam kehidupan kelompok. Di samping kedudukannya yang strategis, kepemimpinan mutlak diperlukan, di mana terjadi interaksi kerjasama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan organisasi.
Dari berbagai definisi kepemimpinan yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa perbedaan dan persamaan penekanannya. Sebagian menekankan kepada kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan pada situasi tertentu. Sedangkan yang lainnya menekankan pada bagaimana kemampuan seorang pemimpin mengarahkan orang lain untuk bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Stogdill (1974:7-16) secara rinci mengemukakan implikasi dari  definisi tersebut yaitu:
1.      Kepemimpinan merupakan titik sentral proses kegiatan kelompok (leadership as a focus of group processes).
2.      Kepemimpinan adalah suatu kepribadian yang memiliki pengaruh (leadership as personality and its effects).
3.      Kepemimpinan sebagai suatu seni untuk menciptakan kesesuaian paham (leadership as the art of induling compliance).
4.      Kepemimpinan adalah pelaksana pengaruh (leadership as the exercise of influence).
5.      Kepemimpinan adalah tindakan dan perilaku (leadership as act and behavior).
6.      Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi dan inspirasi (leadership as a from of persuation and inspiration).
7.      Kepemimpinan merupakan hubungan kekuatan dan kekuasaan (leadership as a power relation).
8.      Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan (leadership as an instrument of goal attainment).
9.      Kepemimpinan merupakan hasil dari interaksi (leadership as an effect of interaction).
10.  Kepemimpinan adalah peranan yang dibedakan (leadership as  a differentiated role).
11.  Kepemimpinan adalah sebagai inisiasi struktur (leadership as the initiation of structure).

D.    Budaya Korporat Organisasi
Untuk mengetahui apa yang disebut dengan budaya korporat organisasi, maka perlu diketui terlebih dahulu sedikit makna tentang dua kata gabungan yang digunakan dalam istilah tersebut, yaitu budaya korporat dan organisasi. Budaya korporat merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam perusahaan dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan. Moeljono (2003) adalah salah satu tokoh akademis di Indonesia yang mendalami dan merangkai beberapa pendapat ahli internasional mengenai budaya korporat, diantaranya:  
1.      Davis (1984), budaya korporat pada setiap perusahaan memiliki makna sendiri-sendiri terhadap kata budaya itu sendiri, meliputi: identitas, ideologi, etos, budaya, pola, eksistensi, aturan, pusat kepentingan, filosofi, tujuan, spirit, sumber informasi, gaya, visi, dan cara.
2.      Schein (1985), budaya korporat mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan perusahaan itu terhadap perusahaan lain.
3.      Gordon (1991), budaya korporat merupakan alat pemersatu bagi seluruh aspek dalam perusahaan dan berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan menbentuk sikap serta perilaku para karyawan. Dalam hubungannya dengan segi sosial, budaya berfungsi sebagai perekat sosial yang membantu mempersatukan perusahaan itu dengan memberikan standarstandar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Akhirnya, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
4.      Mondy (1993), budaya korporat sebagai sistem nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan bersama dalam perusahaan yang berinteraksi dengan struktur formal untuk menghasilkan norma perilaku.
5.      Matsumoto (1996), budaya korporat sebagai seperangkat sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku yang dipegang oleh sekelompok orang dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya.
6.      Menurut Robbins (2002), budaya korporat mempunyai beberapa fungsi yaitu menetapkan batas antara perusahaan, yang berarti bahwa budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara perusahaan dengan perusahaan yang lain, dapat menjadi identitas bagi para anggota-anggota perusahaan, dapat mempermudah timbulnya komitmen bersama terhadap sesuatu yang lebih luas daripada hanya sekedar mengutamakan kepentingan individu, dapat meningkatkan kemantapan  sistem sosial.
Sementara, menurut Robbins (2001) organisasi merupakan suatu unit (satuan) sosial yang dikoordinasikan dengan sadar, yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang berfungsi atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan bersama. Pace dan Faules (2001) menyatakan terdapat dua pendekatan dalam memahami organisasi, yaitu pendekatan objektif san pendekatan subjektif. Makan “objektif” dalam konteks ini merujuk kepada pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa eksis di dunia nyata dan terlepas dari pengamatannya. Sedangkan, “subjektif”  menunjukkan bahwa realitas itu sendiri adalah konstruksi sosial, realitas sebagai suatu proses kreatif yang memungkinkan orang menciptakan apa yang ada “di luar sana”.
Jadi pada dasarnya budaya korporat organisasi mempunyai pengertian sebagai aturan main yang ada di dalam perusahaan sebagai sebuah organisasi objektif yang akan menjadi pegangan dari sumberdaya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku di dalam perusahaan tersebut. Kemudian, juga dapat dikatakan bahwa hal ini adalah pola terpadu perilaku manusia di dalam perusahaan termasuk pemikiranpemikiran, tindakan-tindakan, pembicaraanpembicaraan yang dipelajari dan diajarkan kepada generasi berikutnya.

E.     Produktivitas Kerja.
Produktivitas sumber daya manusia dapat digambarkan sebagai suatu fungsi proses dari sisi respon individu terhadap ukuran kinerja yang diharapkan oleh perusahaan yang mencakup desain kerja, proses pemberdayaan, dan pembimbingan, serta dari sisi individu itu sendiri yang mencakup keterampilan, kemampuan, dan pengetahuannya. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan bahwa kinerja individu merupakan hasil suatu proses perpaduan antara kapabilitas individu dengan sikap individu terhadap aspek pekerjaan dan perusahaan (Walker, 1993 dalam Moeljono, 2003). Selanjutnya, Benardin dan Russell (1998) dalam Moeljono (2003) menjelaskan bahwa produktivitas karyawan adalah hasil keluaran yang dihasilkan pada fungsi atau aktivitas kerja tertentu selama periode waktu tertentu. Hal itu berarti bahwa produktivitas seorang karyawan identik dengan hasil upaya dalam menjalankan tugasnya.

F.     Hubungan Budaya Korporat Terhadap Produktivitas Kerja.
Akulturasi budaya korporat selain akan menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, juga akan menjadi penentu sukses perusahaan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, Block (dalam Moeljono, 2003) berpendapat sebagai berikut “Semakin jelas terbukti bahwa hanya perusahaan-perusahaan dengan budaya korporat yang efektif yang dapat menciptakan peningkatan produktivitas, meningkatkan rasa ikut memiliki dari karyawan, dan (pada akhirnya) meningkatkan keuntungan perusahaan…(There is increasing evidence that firms with effective corporate cultures claim to have increased productivity, increased employees, sense of ownership and increased profit)”.
Pada saat ini manajemen menjadi lebih memahami bahwa komponen-komponen budaya seperti adat-istiadat (kebiasaan), tradisi, peraturan-peraturan (rules), aturan-aturan (regulation), kebijaksanaan dan prosedur bisa membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, sehingga bisa meningkatkan produktivitas, memenuhi kebutuhan pelanggan dan meningkatkan daya saing perusahaan.
Para karyawan membentuk suatu persepsi subyektif keseluruhan mengenai organisasi berdasarkan pada faktor-faktor seperti toleransi, tekanan pada tim, dan dukungan orang. Sebenarnya, persepsi keseluruhan ini menjadi budaya atau kepribadian perusahaan itu. Persepsi yang mendukung atau tidak mendukung ini kemudian mempengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan dengan dampak yang lebih besar pada budaya yang lebih kuat (Robbins, 2002).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan kinerja yang baik adalah budaya korporat. Menurut Imai (1996), budaya korporat merupakan faktor struktur dan psikologis yang menentukan kekuatan menyeluruh perusahaan, produktivitas, dan daya saing dalam jangka panjang. Budaya korporat sering kali tercermin dalam perilaku keseharian anggotanya, berarti pula merupakan praktik sehari-hari di tempat kerja. Budaya korporat dalam memberikan suasana psikologis bagi semua anggota, bagaimana mereka bekerja, bagaimana berhubungan dengan atasan ataupun rekan kerja, bagaimana menyelesaikan masalah dan banyak lagi yang merupakan wujud budaya yang khas bagi setiap perusahaan. Menurut Jusi (2001) dalam Moeljono (2003), hubungan antara budaya dan kinerja dalam upaya penca-paian produktivitas sangatlah erat dalam mencapai tujuan perusahaan.
Peran budaya korporat sangat penting dalam meningkatkan kinerja karyawan yang berwujud kepada produktivitas. Hal ini berlaku dalam perusahaan bisnis, termasuk dalam dunia perbankan. Dengan demikian, kinerja karyawan perusahaan akan membaik seiring dengan internalisasi budaya korporat. Karyawan yang sudah memahami keseluruhan nilai-nilai perusahaan akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai suatu kepribadian perusahaan.
Persepsi yang mendukung akan mempengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan. Secara tegas, dapat disimpulkan bahwa budaya korporat akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Paling tidak budaya korporat yang sudah terinternalisasi akan memberikan kemampuan untuk meminimalkan deviasi dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang tak terduga. Hal ini sangat menentukan bagi perusahaan dan individu-individu dalam menjalankan bisnis dan berinteraksi dengan lingkungan, serta dalam cara-cara mengelola personil secara internal atau hubungan atasan bawahan.

G.    Budaya Korporat Bank Mandiri.
Pada tahun 2005 Bank Mandiri mengembangkan suatu budaya kerja baru. Untuk mewujudkan visi dan misi sebagaimana di atas merupakan suatu perjalanan panjang yang harus ditempuh dalam suatu koridor dan pedoman yang disepakati bersama dalam organisasi. Terdapat lima nilai budaya, yakni serangkaian prinsip yang dijadikan sebagai panduan moral dalam berperilaku, bertindak dan mengambil keputusan. Budaya korporat Bank Mandiri dikenal dengan “TIPCE” (Trust, Integrity, Professionalism, Customer Focus dan Exellence).
1.      Trust (Kepercayaan), merupakan sesuatu yang tumbuh atas dasar keyakinan akan suatu keandalan dan keluhuran karakter dan kepribadian. Kehandalan seseorang yang tidak dilandasi karakter yang luhur tidak akan menimbulkan suatu kepercayaan. Dalam kehidupan sehari-hari, kepercayaan ini diwujudkan dalam perilaku saling menghargai dan bekerja sama, serta tindakan yang jujur, tulus dan terbuka. Nilai kepercayaan dijawabarkan dalam dua perilaku utama, yakni “Saling menghargai dan bekerja sama” dan “Jujur, tulus dan terbuka”.
2.      Integrity (Integritas) adalah suatu nilai yang memelihara satunya pikiran, kata dan perbuatan yang sesuai dengan hati nurani dan prinsip-prinsip kebenaran. Integritas diwujudkan dalam perilaku disiplin dan konsisten, serta perilaku berpikir, berkata dan bertindak terpuji, sesuai dengan prinsip moralitas yang menunjukkan adanya keluhuran karakter dan budi pekerti.
3.      Professionalism (Profesionalisme), merupakan suatu nilai yang mengedepankan keahlian dan kompetensi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Nilai profesionalisme diwujudkan dalam perilaku yang menjunjung tinggi kompetensi dan tanggung jawab serta komitmen untuk senantiasa memberikan solusi yang terbaik.
4.      Customer Focus (Fokus pada Pelanggan), merupakan salah satu nilai utama yang melandasi sikap insan Bank Mandiri untuk senantiasa membina hubungan baik dengan pelanggan serta langgeng dan berkesinambungan. Pelanggan eksternal maupun internal Bank Mandiri merupakan mitra yang akan kita dukung untuk terus maju dan tumbuh secara konsisten dari waktu ke waktu. Untuk itu fokus pada pelanggan kita wujudkan dalam perilaku yang inovatif, proaktif dan cepat tanggap terhadap kebutuhan pelanggan serta menguta-makan kepentingan dan kepuasan pelanggan.
5.      Exellence (Kesempurnaan). Untuk mencapai kesempurnaan, Bank Mandiri mengembangkan dan melakukan perbaikan di segala bidang untuk mendapatkan nilai tambah optimal dan hasil yang terbaik secara terus menerus.
III.KESIMPULAN
1.      Organisasi sebagai kesatuan sosial, yaitu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Setiap organisasi dituntut selalu peka terhadap aspirasi, keinginan, tuntutan dan kebutuhan berbagai kelompok dengan siapa organisasi berinteraksi.
2.      Kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok juga merupakan sarana pencapaian tujuan.
3.      Pemimpin dalam kehidupan organisasi mempunyai kedudukan yang strategis dan merupakan gejala sosial yang selalu diperlukan dalam kehidupan kelompok.
4.      Budaya organisasi dapat tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan oleh individu yang bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru.
5.      Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah budaya korporat yang terdiri dari kepercayaan (Trust), integritas (Integrity), profesionalisme (Professionalism), fokus pada pelanggan (Customer Focus) dan kesempurnaan (Exellence) mempunyai hubungan yang positif terhadap produktivitas kerja karyawan. Melalui uji F, kepercayaan (Trust), integritas (Integrity), profesionalisme (Professionalism), fokus pada pelanggan (Customer Focus) dan kesempurnaan (Exellence) berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan secara simultan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2003. Manajemen Penelitian. Edisi Baru. Cetakan Keenam. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
————. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi. Cetakan Kedua . PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Astuti, Rini. 2003. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Komitmen Karyawan (Studi Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendapatan Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur di Kediri). Tesis Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Cooper, R. Donald dan C. William Emory. 1996. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Costa, Lucas da. 1993. Analisis Pengaruh Faktor- Faktor Strategi dan Budaya Terhadap Tingkat Excellence (Suatu Studi Kasus Pada Perusahaan Penerbitan Surat Kabar Jawa Pos Surabaya). Tesis Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.
Dajan, Anto. 2000. Pengantar Metode Statistik. Cetakan Keduapuluh. Jilid 2. LP3ES. Jakarta.
Luthans, Fred. 2002. Organizational Behaviour. Nine Edition. Mc Graw Hill. New York.
Moeljono, Djokosantoso. 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.

Muluk, MR. Khairul. 1999. Budaya Organisasi dan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Kerja (Studi pada Rumah Sakit Lavalette Malang), Tesis Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Naidoo, D. 2003. Organizational Culture and Subculture Influences on The Implementation and Outcomes of Aspects of International Quality Assurance Initiatives. Journal of Corporate Culture. South Africa. p.1-11.
Robbins, Stephen P. 2003. Organization Theory: Structure, Design and Applications. Third
Edition. Prentice Hall International Inc. Singgapurpore.
—————. 2002. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jilid 2. Edisi Bahasa Indonesia. Alih Bahasa: Hadyana Pujaatmaka dan Benyamin Molan. PT Prenhallindo. Jakarta.
Santoso, Singgih. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.
Sedarmayanti. 1996. Tata Kerja dan Produktivitas Kerja: Suatu Tinjauan Dari Aspek Ergonomi atau Kaitan Antara Manusia Dengan Lingkungan Kerjanya. CV. Mandar Maju. Bandung.
—————. 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. CV. Mandar Maju. Bandung.
Sekaran, Uma. 1992. Research Methods For Business: A Skill-Building Approach. Second Edition. JOHN WILEY & SONS, INC. New York.
Siagian, Sondang P. 2002. Teori Pengembangan Organisasi. Cetakan Keempat. Bumi Aksara. Jakarta. Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Sinungan, Muchdarsyah. 2003. Produktivitas: Apa dan Bagaimana. Bumi Aksara. Jakarta.
 Schein, Edger H. 1985. Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey Bass.
Indrapradja, F.X.T. 1992. Manajemen Konsensus dalam Bisnis. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial. Vol. 3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
http ://web ca che .go og l eu s er co nt ent . com/
http:// www. h a r p a c k i n d o . c o . i d / Budaya%20Perusahaan.htm
www.mercubuana.ac.id



Perbedaan dan persamaan 7 tradisi dalam teori komuikasi yang diambil dari Theorizing Communication by Robert T Craig, Theories of Human Communication by Little John, Communication Theory by EM Griffin



Perbedaan dan persamaan 7 tradisi dalam teori komuikasi yang diambil dari Theorizing Communication by Robert T Craig, Theories of Human Communication  by Little John, Communication Theory by EM Griffin
Theorizing Communication
by Robert T Craig
Theories of Human Communication
by Little John
Communication Theory
by EM Griffin
Craig berpendapat bahwa terdapat 7 tradisi dalam teori komunikasi yaitu (1) tradisi retoris, (2) tradisi semiotik, (3) tradisi fenomenologis, (4) tradisi Cybernetic, (5) tradisi  sosio-psychological, (6) tradisi sosiokultural, (7) tradisi kritis. Berikut ini penjelasan singkat mengenai beberapa tradisi tersebut:

1.    Tradisi Retoris
Dalam tradisi teori retorika,  komunikasi biasanya telah berteori sebagai seni praktis wacana. Masalah komunikasi dalam tradisi retoris dipahami sebagai urgensi sosial yang dapat diselesaikan melalui penggunaan berseni wacana untuk membujuk penonton.

2.        Tradisi Semiotik
Semiotika, studi tanda, seperti retorika, memiliki akar kuno (Manetti, 1993), tetapi semiotika sebagai tradisi yang berbeda dari teori komunikasi dapat dikatakan telah berasal dari teori bahasa John Locke (Kitab banyak diabaikan III). Dalam semiotik, komunikasi ini menjelaskan dan memupuk penggunaan bahasa dan sistem tanda lain untuk menjembatani antara perspektif yang berbeda. Masalah komunikasi dalam tradisi semiotika yang primalrily adalah masalah representasi dan transmisi makna, kesenjangan antara subjektivitas yang bisa dijembatani, jika hanya tidak sempurna, dengan menggunakan sistem bersama tanda.

3.        Tradisi Fenomenologis
Dalam tradisi ini, komunikasi berteori dengan cara menjelaskan interaksi identitas dan perbedaan dalam hubungan manusia secara otentik. Komunikasi yang otentik, atau dialog, didasarkan pada pengalaman langsung, tanpa perantara kontak dengan orang lain.

4.        Tradisi Cybernetic
Pengolahan Komunikasi dalam tradisi cybernetic yang berteori sebagai pengolahan informasi dan menjelaskan bagaimana semua jenis sistem yang kompleks, baik hidup maupun tak hidup, makro atau mikro, dapat berfungsi. Masalah gangguan komunikasi dalam arus informasi dihasilkan dari kebisingan, informasi yang berlebihan, atau ketidaksesuaian antara struktur dan fungsi.

5.        Tradisi Sociopsychological
Pengaruh Komunikasi ini menjelaskan penyebab dan efek dari perilaku sosial dan memupuk praktik yang mencoba untuk melakukan kontrol disengaja atas orang penyebab perilaku dan efek.

6.        Tradisi Sosiokultural
Komunikasi sebagai (Re) Produksi Tatanan Sosial Teori komunikasi sosial budaya merupakan "penemuan" komunikasi, terutama sejak abad ke-19 dan sebagian di bawah pengaruh pemikiran semiotika, dalam tradisi intelektual sosiologi dan antropologi. Komunikasi dalam tradisi ini biasanya berteori sebagai proses symblolic yang memproduksi dan mereproduksi pola sosial budaya bersama. Jadi, komunikasi menjelaskan bagaimana tatanan sosial (fenomena tingkat makro) dibuat, menyadari, berkelanjutan, dan diubah dalam proses interaksi tingkat mikro.

7.        Tradisi Kritis
Teori Kritis menantang  kealamian dari tatanan sosial dan mempertanyakan validitas rasional dari semua otoritas, tradisi, dan keyakinan konvensional termasuk kepercayaan tradisional tentang kealamian,  mengklaim, telah terdistorsi alasan dalam pelayanan kapitalisme, rasisme, dan patriarki. Ini menantang asumsi tentang objektivitas dan netralitas politik moral ilmu teknologi.
John mengatakan terdapat 7 tradisi dalam teori komunikasi yaitu (1) tradisi semiotik, (2) tradisi fenomenologis, (3) tradisi Cybernetic,  (4) tradisi  sosio-psychological, (5) tradisi sosiokultural, (6) tradisi kritis, dan (7) tradisi retoris.berikut penjelasannya:

1.    Tradisi Semiotik.
Konsep dasar pemersatu tradisi ini adalah tanda, yang didefinisikan sebagai stimulus menunjuk atau menunjukkan beberapa kondisi lain seperti ketika asap menunjukkan adanya api. Konsep dasar kedua adalah simbol, yang biasanya menunjuk tanda kompleks dengan banyak makna, termasuk yang sangat pribadi. Beberapa ahli membuat diferensiasi yang kuat antara tanda dan simbol-tanda memiliki rujukan yang jelas untuk sesuatu dalam realitas, sedangkan simbol yang sewenang-wenang. Kebanyakan berpikir semiotik melibatkan ide dasar dari tiga hal obyek (atau acuan), orang (atau interpreter), dan tanda.

2.    Tradisi Fenomenologis
Fenomenologi adalah cara memahami dunia melalui pengalaman langsung persepsi fenomena, apakah suatu obyek, peristiwa, atau kondisi. Fenomenologi membuat pengalaman hidup yang sebenarnya atas dasar realitas.

3.     Tradisi Cybernetic
Cybernetic adalah tradisi sistem yang kompleks di mana elemen berinteraksi mempengaruhi satu sama lain. Teori dalam tradisi cybernatic menjelaskan bagaimana fisik, proses biologis, sosial, dan perilaku bekerja. Dalam cybernetic, komunikasi dipahami sebagai sistem bagian, atau variabel, yang mempengaruhi satu sama lain, bentuk dan mengontrol karakter dari sistem secara keseluruhan, dan, seperti organisme apapun, baik mencapai hal keseimbangan dan perubahan. Ide-ide kunci dari teori sistem yang koheren dan konsisten, dan mereka memiliki dampak besar pada berbagai bidang, termasuk komunikasi. Karena penerapan yang luas dalam lingkungan virtual, fisik dan sosial, tradisi cybernetic tidak monolitik.

4.          Tradis Socio-psychological 
Studi tentang individu sebagai makhluk sosial adalah dorongan dari tradisi sociopsychological. Berasal di bidang psikologi sosial, tradisi ini sudah menjadi tradisi yang kuat dalam komunikasi. Teori-teori tradisi ini berfokus pada perilaku individu, variabel psikologis, efek individu, kepribadian dan sifat, persepsi, dan kognisi. Meskipun teori ini memiliki banyak perbedaan, mereka berbagi keprihatinan bersama untuk perilaku dan sifat-sifat pribadi dan proses cognitives yang menghasilkan perilaku. Tradisi ini paling sering dikaitkan dengan "ilmu komunikasi". Banyak pekerjaan saat ini dalam tradisi ini dalam komunikasi berfokus pada persuasi dan perubahan sikap pemrosesan pesan, bagaimana individu merencanakan strategi pesan, bagaimana proses penerima pesan informasi, dan efek pesan pada individu. Sebagian masih populer dari pendekatan sociopsychological adalah teori sifat, yang mengidentifikasi variabel kepribadian dan kecenderungan komunikator yang mempengaruhi bagaimana individu bertindak dan berinteraksi.

5.         Tradisi Sosiokultural
Pendekatan sosiokultural teori komunikasi merupakan cara pemahaman kita, makna, norma, peran, dan aturan yang bekerja keluar secara interaktif dalam komunikasi. Teori-teori tersebut menjelajahi dunia interaksional di mana orang hidup, berpendapat bahwa realitas bukanlah seperangkat tujuan pengaturan luar kita tapi dibangun melalui proses interaksi dalam kelompok, komunitas, dan budaya. Tradisi ini berfokus pada pola interaksi antara orang-orang bukan pada karakteristik individu atau model mental.



6.         Tradisi Kritis
Ada beberapa jenis ilmu sosial kritis, semua berbagi tiga fitur penting. Pertama, tradisi kritis berusaha untuk memahami sistem yang diberikan, struktur kekuasaan, dan keyakinan atau ideologi yang mendominasi masyarakat, dengan mata khusus yang kepentingannya dilayani oleh struktur-struktur power. Kedua, teori kritis sangat tertarik dalam mengungkap kondisi sosial menindas dan arrangenments kekuatan dalam rangka untuk mempromosikan emansipasi, atau lebih bebas dan masyarakat yang memuaskan. Ketiga, ilmuwan yang kritis secara sadar memadukan teori dan tindakan.

7.  Tradisi Retoris
Fokus dari retorika telah meluas bahkan lebih untuk mencakup semua cara manusia menggunakan simbol untuk mempengaruhi orang-orang di sekitar mereka dan untuk membangun dunia di mana mereka tinggal. Tradisi retorika adalah lima kanon retorika, penemuan, pengaturan, gaya, pengiriman dan memori. (1)Penemuan, mengacu pada konseptualisasi proses melalui mana kita memberikan makna simbol melalui interpretatif, pengakuan atas fakta bahwa kita tidak hanya menemukan apa yang ada tapi menciptakannya melalui kategori penafsiran kita gunakan. (2) Pengaturan adalah proses pengorganisasian simbol mengatur informasi dalam terang hubungan antara orang-orang, simbol, dan konteks yang terlibat. (3) Gaya menyangkut semua pertimbangan yang terlibat dalam penyajian simbol-simbol, dari pilihan sistem simbol dengan makna kita berikan simbol-simbol, serta semua perilaku simbolik dari kata-kata dan tindakan untuk pakaian dan furnitur. (4) Pengiriman telah menjadi perwujudan simbol dalam beberapa bentuk fisik, meliputi berbagai pilihan dari nonverbal untuk berbicara dengan menulis pesan dimediasi. Akhirnya, (5) memori mengacu pada pidato reservoir memori yang lebih besar budaya serta proses persepsi yang mempengaruhi bagaimana kita mempertahankan dan memproses informasi.
Dalam bukunya, Ia mengatakan terdapat 7 tradisi dalam teori komunikasi yang diambil dari pendapat Craig, (1) Tradisi Sosial Psikologis, (2) Tradisi Cybernetic,
(3) tradisi retoris, (4) tradisi semiotik, (5) tradisi sosial budaya, (6) tardisi kritis, dan  (7) tradisi fenomenologis,. Ketujuh tradisi ini sudah tersusun berdasarkan sudut pandang objetif. Griifin juga menambahkan tradisi etis dalam teori komunikasi. Berikut ini penjelasannya:

1.    Tradisi Sosial Psikologis
Ilmuwan dalam tradisi ini percaya ada kebenaran komunikasi yang dapat ditemukan oleh hati, pengamatan sistematis. Mereka mencari hubungan sebab-akibat yang akan memprediksi hasil ketika orang berkomunikasi. Berdasarkan teori interaksional psikolog sosial Harold Kelley, yang menunjukkan bahwa hubungan dekat yang ditandai dengan "kekuatan, frekuensi, keragaman, dan durasi.”

2.    Tradisi Cybernetic
Konsepnya menganggap komunikasi sebagai link yang menghubungkan bagian yang terpisah dari sistem apapun, seperti sistem komputer, sistem keluarga, sistem media, atau sistem dukungan sosial. Teoretisi dalam tradisi cybernetic berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana cara kerja sistem? Apa yang bisa mengubahnya?

3.    Tradisi Retoris 
Dalam tradisi ini, frase retorika adalah sebuah kontradiksi. Sebuah pengaturan di mana seorang pembicara tunggal mencoba untuk mempengaruhi beberapa pendengar melalui wacana persuasif. Komunikasi yang efektif membutuhkan adaptasi penonton. Pembicara belajar untuk memberikan argumen yang kuat dengan suara yang kuat yang membawa ke tepi kerumunan. Penekanan pada kekuatan dan keindahan bahasa untuk memindahkan orang emosional dan aduk mereka untuk bertindak. Retorika adalah seni lebih dari ilmu pengetahuan.

4.    Tradisi Semiotik
Komunikasi sebagai Proses Berbagi Makna Melalui Tanda. Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat berdiri untuk sesuatu yang lain.

5.    Tradisi Sosial Budaya
Komunikasi sebagai Penciptaan dan Pengesahan Realitas Sosial. Tradisi sosial budaya didasarkan pada premis bahwa sebagai orang berbicara, mereka memproduksi dan mereproduksi budaya. Kebanyakan dari kita menganggap bahwa kata-kata mencerminkan apa yang benar-benar ada. Namun, teori dalam tradisi ini menunjukkan bahwa proses sering bekerja sebaliknya. Pandangan kita tentang realitas sangat dibentuk oleh bahasa yang telah digunakan sejak kita masih bayi. Teori sosial budaya kontemporer memberikan kekuatan bahkan lebih untuk bahasa. Mereka mengklaim bahwa itu adalah melalui proses komunikasi yang "realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan diubah."

6.        Tradisi Kritis
Teori kritis secara konsisten menantang tiga fitur masyarakat kontemporer: 1. Pengendalian bahasa untuk melanggengkan ketidakseimbangan kekuasaan. Teori kritis mengutuk setiap penggunaan kata-kata yang menghambat emansipasi. 2. Peran media massa dalam menumpulkan kepekaan terhadap penindasan. Teori kritis melihat "industri budaya" dari televisi, film, MP3, dan media cetak sebagai mereproduksi ideologi dominan budaya dan mengganggu orang-orang dari mengakui distribusi yang tidak adil dari kekuasaan dalam masyarakat. 3. Ketergantungan pada metode ilmiah dan penerimaan tidak kritis temuan empiris. Teori kritis curiga karya empiris yang ilmuwan mengklaim ideologis bebas, karena ilmu pengetahuan tidak mengejar bebas nilai pengetahuan yang diklaimnya.

7.        Tradisi Fenomenologis
Fenomenologi adalah istilah filosofis yang mengesankan, pada dasarnya mengacu pada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang menjalaninya. Dengan demikian, tradisi fenomenologis menempatkan penekanan besar pada persepsi masyarakat dan interpretasi mereka atas pengalaman mereka sendiri. Untuk fenomenolog, cerita individu yang lebih penting, dan lebih berwibawa, daripada hipotesis penelitian atau aksioma komunikasi. Tradisi fenomenologis berusaha untuk menjawab dua pertanyaan: Mengapa begitu sulit untuk membangun dan mempertahankan hubungan manusia otentik dan Bagaimana masalah ini diatasi?
Menurut asumsi ilmiah, tradisi sociopsychological adalah yang paling obyektif. Beberapa mahasiswa bertanya-tanya mengapa retorika berperingkat lebih objektif daripada semiotika. Itu karena retorika secara tradisional dianggap bahasa sebagai "nyata," sedangkan semiologists merasakan hubungan antara kata dan acuannya sebagai lebih renggang. Tradisi fenomenologis sebagai yang paling subjektif dari tujuh tradisi, dan sehingga menempati posisi terjauh didasarkan pada wilayah interpretatif. Tradisi yang diajukan Griffin yaitu:
1.        Tradisi Etis
Griffin akan mengutip tiga dari sembilan prinsip untuk menggambarkan aliran utama pemikiran dalam tradisi etika:
1.      Prinsip ini berpusat pada kebenaran atau kesalahan komunikasi yang bertindak terlepas dari apakah itu manfaat orang yang terlibat. Ini berbicara kepada pertanyaan kewajiban. Apakah selalu tugas kita untuk jujur?
2.      Prinsip ini berkaitan dengan kerugian atau keuntungan yang dihasilkan dari kata-kata kita. Ini menimbulkan pertanyaan tentang hasil. Akankah berbohong mempromosikan kesejahteraan atau mencegah cedera?
3.      Prinsip ini berfokus pada karakter komunikator daripada tindakan komunikasi. Ini meminta kita untuk melihat motif dan sikap kita. Apakah saya berusaha untuk menjadi orang yang berintegritas dan kebajikan?